Judul tulisan ini merupakan pendapat pribadi setelah melihat di direktori putusan di mana masih ada putusan yang berbeda-beda dalam sistematika penyusunannya.
Template putusan itu diseragamkan karena adanya ketidakseragaman sistematika putusan yang dibuat oleh para hakim di pengadilan. Putusan tersebut dibuat sesuai dengan selera masing-masing dan kadang dianggap sebagai putusan terbaik versi si pembuat putusan itu sendiri.
Penulis sebagai Hakim yang diangkat menjadi Hakim sejak tahun 2005 telah mulai membuat konsep putusan sejak bertugas sebagai calon hakim di Pengadilan Negeri Sumedang dan membantu para Hakim senior untuk membuatkan konsep putusan dan setelah selesai dikonsep kemudian akan dikoreksi oleh Hakim senior tersebut dengan memberikan catatan-catatan koreksi baik dalam sistematika maupun dalam pertimbangan putusan.
Dalam perjalanan menjadi seorang Hakim, ternyata konsep sistematika putusan yang dipedomani pada saat menjadi calon hakim berbeda dengan ketika penulis telah diangkat menjadi Hakim dan ditugaskan oleh Hakim Senior yang juga merupakan Ketua Pengadilan di satuan kerja penempatan pertama kala itu di Pengadilan Negeri Ketapang, salah satunya adalah posisi penempatan ‘tuntutan’ yang tidak ditempatkan di bagian awal putusan sebelum dakwaan namun ditempatkan di bagian akhir putusan setelah pembuktian dengan alasan bahwa sesuai urutan pemeriksaan di persidangan sebagaimana tercatat dalam berita acara persidangan bahwa ‘dakwaan’ lebih dahulu dibacakan daripada ‘tuntutan’ (“masuk akal juga sih alasannya).
Namanya Hakim junior ditugaskan oleh Hakim Senior pada waktu itu hanya bisa taat mengikuti instruksi pimpinan dan ‘terpaksa’ mengikuti sistematika putusan yang diperintahkan oleh Ketua Majelis yang juga merupakan Ketua Pengadilan tersebut. Dari beberapa kali membuat putusan dengan konsep seperti itu dan beberapa kali ada upaya hukum terhadap putusan tersebut. Ternyata putusan tersebut tidak pernah dibatalkan atau dinilai keliru dari sisi sistematika putusan, sehingga dari kejadian tersebut nampak sekali bahwa pembuatan putusan pada saat itu ditentukan dominan menurut selera masing-masing si pembuat asalkan sepanjang tidak melanggar Pasal 197 KUHAP.
Perbedaan sistematika putusan tersebut membuat Mahkamah Agung merumuskan Template Putusan untuk dipedomani oleh Para Hakim yang berada di bawahnya. Dimana dalam perkembangannya telah dilakukan penyempurnaan beberapa kali dan yang terakhir adalah Template Putusan sebagaimana dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 359/KMA/SK/XII/2022 tentang Template dan Pedoman Penulisan Putusan/ Penetapan Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada Empat Lingkungan Peradilan di Bawah Mahkamah Agung. Sehingga saat ini Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 359/KMA/SK/XII/2022 merupakan pedoman yang harus ditaati oleh Hakim dalam membuat putusan.
Template Putusan ini dibuat bukan sekedar untuk keseragaman belaka namun lebih daripada itu. Banyak kasus ditemukan bahwa Para Hakim membuat putusan dengan cara copy paste dari putusan terdahulu yang pernah dibuat di satuan kerja terdahulu atau dengan mencontoh dari putusan yang diperoleh dari Hakim/ Pegawai dari satuan kerja lainnya untuk mempermudah Hakim tersebut dalam membuat konsep putusan. Namun faktanya ditemukan banyak kesalahan yang muncul akibat budaya copy paste dari putusan terdahulu tersebut. Dimana salah satu contoh kesalahan adalah kekeliruan nama satuan kerja pengadilan pemutus karena kekurang cermatan akibat copy paste. Hal ini menjadi masalah fatal baik bagi lembaga maupun bagi para pencari keadilan yang kadang membuat Pengadilan Tinggi sebagai voorpost menjadi repot untuk melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap Hakim atau Majelis Hakim tersebut dan berakibat kepada penjatuhan sanksi berupa teguran dan sanksi lainnya.
Putusan merupakan mahkota Hakim, oleh karena itu mahkota tersebut harus dimulai dengan sistematika yang benar yaitu sesuai template. Sepertinya adalah sia-sia ketika seorang Hakim membuat suatu pertimbangan yang baik dalam putusan namun tidak sesuai dengan template karena mahkota Hakim tersebut menjadi kurang sempurna akibat tidak sesuai dengan template. Dengan adanya ketentuan tersebut maka diharapkan tidak ada lagi Hakim yang lalai atau sengaja membuat putusan dengan seleranya sendiri dengan cara melanggar template. Hal ini tidak menjadi alat pengekang kebebasan hakim dalam membuat putusan karena kebebasan hakim dapat dipergunakan ketika memberikan penilaian atau pertimbangkan atas fakta dan bukti-bukti di persidangan. Sedangkan selebihnya maka wajib mengikuti template sehingga dapat disimpulkan bahwa template justru mempermudah Hakim dalam membuat putusan dan juga membatu Hakim agar terhindar dari kesalahan-kesalahan yang sering muncul akibat putusan copy paste.
Pertengahan Tahun 2017 pada saat pertama kali diterapkan sistem fit and proper test bagi calon pimpinan pengadilan kelas II, seluruh peserta diwajibkan untuk menyerahkan satu putusan pidana dan satu putusan perdata sebagai syarat untuk mengikuti fit and proper test di mana Penguji akan mengajukan beberapa pertanyaan dari putusan-putusan tersebut dan dilakukan semacam eksaminasi. Hal ini perlu diuji karena Putusan adalah mahkota hakim yang harus dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat. Dalam perkembangannya dalam fit and proper test belakangan ini, penulis percaya bahwa putusan yang wajib disertakan oleh calon pimpinan kelas II dalam fit and proper test pastinya akan dinilai dari sistematikanya apakah sesuai dengan template atau tidak. Putusan yang sesuai dengan template tentunya akan menjadi pertimbangan khusus dalam penilaian kelulusan uji kelayakan dan kepatutan menjadi pimpinan pengadilan dan ini harus disadari oleh para hakim muda yang akan mengikuti ujian kelayakan dan kepatutan menjadi pimpinan pengadilan di kemudian hari.
Perbedaan putusan satu dengan yang lainnya yang terjadi dalam suatu satuan kerja tersebut perlu dilakukan ‘monitoring’ secara berkala. Monitoring dan evaluasi akurasi data SIPP dengan memeriksa sistematika putusan secara berjenjang dari Panitera Pengganti, Hakim pembuat konsep putusan, Hakim Anggota dan Ketua Majelis perkara tersebut, Panitera Muda dan Panitera yang akan menandatangani Salinan Putusan secara elektronik. Hal ini penting dilaksanakan secara berkelanjutan untuk tercapainya keseragaman putusan di Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya.
Jika dalam pembuatan putusan terus menerus dilakukan dengan sengaja tidak mengikuti template, maka hal tersebut menurut Penulis merupakan pelanggaran serius dan dapat dipandang sebagai perbuatan yang melanggar Kode Etik Perilaku Hakim dalam hal profesionalisme dan tentunya dapat dikenakan sanksi sekalipun dipandang tidak merugikan para pencari keadilan. Namun hal tersebut telah melanggar Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 359/KMA/SK/XII/2022 tentang Template dan Pedoman Penulisan Putusan/ Penetapan Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada Empat Lingkungan Peradilan di Bawah Mahkamah Agung dan dapat dikenai sanksi oleh Badan Pengawasan Mahkamah Agung.
Oleh karena itu marilah Hakim Indonesia, kita terapkan template dalam membuat putusan agar terwujud mahkota hakim yang sempurna bagi lembaga dan para pencari keadilan.
Penulis : Santonius Tambunan, S.H., M.H.
« Next: Ketua PN Curup Laksanakan Rapat Monitoring Eksekusi »« Previous: PN Curup Adakan Kegiatan Aksi Donor Darah Dalam Menyambut Perayaan Kemerdekaan ke 79 RI dan HUT ke 79 Mahkamah Agung RI
Berita Mahkamah Agung Republik Indonesia
Berita Badan Peradilan Umum
Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Membuka Bimbingan Teknis Penanganan Perkara Peradilan Hubungan Industri Di Surakarta
Permintaan Data Inventarisasi Hakim Dan Aparatur Peradilan Penulis Buku Atau Yang Telah Menerbitkan Buku
Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Menghadiri Wisuda Purnabakti Ketua Pengadilan Tinggi Medan